Oleh Maya Lestari Gf
Putri pertama saya masih berusia sebulan ketika saya mulai membacakan buku untuknya. Dia memang masih bayi, tapi saya tahu, otaknya menangkap dan menyerap semua yang saya sampaikan. Ini adalah sekelumit catatan saya tentang bagaimana menumbuhkembangkan kemampuan literasi anak-anak, yang ada akhirnya, pengalaman ini juga saya gunakan untuk ikut mengembangkan kemampuan literasi anak-anak lain.
Suatu hari di bulan Agustus 2006, hari hujan di luar. Cuaca dingin bukan main. Saya berdua saja dengan Ayesha, putri pertama saya. Kami berada di kamar dan suara hujan keras menghantam atap. Putri saya terjaga, ia mengenakan baju hangat, kaus kaki dan selimut. Ia tampak tenang, mungkin juga sedang mendengar hujan. Tak ada apapun untuk mengisi kesunyian kamar. Saya lalu mengambil buku hewan yang saya beli di sebuah pameran buku. Buku itu unik bagi saya, yang saat itu belum banyak mengenal aneka bentuk buku bayi. Buku itu punya bagian yang bertekstur. Konon untuk melatih syaraf motorik halus anak. Buku itu segera saya buka di hadapan putri saya. Sebuah cerita tentang hewan sepertinya cocok untuk menghangatkan cuaca yang dingin. Saya mulai bercerita, tentang kisah kucing, kelinci dan tupai. Saya raih tangannya, dan saya bawa jemarinya merasakan tekstur di buku itu. Matanya berbinar, ia bersemangat. Saya terus bercerita, dan ia mulai menirukan suara-suara saya, seperti ikut bercerita juga. Tiga bulan setelah peristiwa mengesankan di sore yang berhujan itu, putri saya duduk dan menunjuk ponsel saya. Ia berkata: hanpon. Itu kata ketiganya setelah ibu dan ayah. Lalu empat bulan setelahnya, tepatnya pada usia setahun, ia bisa mengucapkan satu kalimat dengan lancar, Ibu, mau kue. Lima tahun setelahnya ia sudah membuat majalahnya sendiri, lalu pada usia sepuluh tahun artikelnya dimuat di koran, bukunya terbit, dan ia memenangkan lomba menulis tingkat provinsi dan nasional. Itu sangat amazing bagi ibu muda seperti saya.
Ada satu teori hidup yang saya yakini, yaitu, seseorang akan mengikuti lingkungannya. Kenapa saya bilang teori hidup? Sebab, pendidikan sejatinya adalah kehidupan, sesuatu yang kita alami dan membentuk diri kita terus menerus. Lingkungan yang kita tinggali akan mempengaruhi kita, karena itu, dalam Islam, ada hadis yang terkenal, teman yang baik ibarat minyak wangi, meskipun engkau tidak mendapat minyaknya, minimal akan mendapat wanginya. Teori hidup ini yang kemudian saya tarik ke dunia pendidikan anak-anak saya. Jika saya ingin menumbuhkembangkan kemampuan literasi mereka, pertama-tama, saya harus memberikan lingkungan ‘minyak wangi’. Saya harus menjadi semacam penjual minyak wangi yang terus menerus menawarkan dan membaluri mereka dengan minyak wangi. Dalam konteksi literasi, minyak wangi itu bernama buku. Saya memaksa diri keluar dari fase nyaman saya. Saya menyisihkan uang untuk membeli buku mereka, menyisihkan waktu untuk membacakannya. Ini tidak mudah, tetapi saya yakin, ini akan berhasil jika saya terus menerus berupaya.
Tahap-tahap upaya saya, serta perkembangan kemampuan literasi yang terjadi, saya uraikan dalam poin-poin berikut.
- Membacakan buku
Ini adalah tahap dasar yang harus dilalui semua orang tua. Berdasar pengalaman saya, fase membacakan buku ini saya bagi menjadi tiga bagian:
a. Fase 0-7 tahun. Saya menyebutnya sebagai fase simak. Di fase ini anak belajar menyimak pembicaraan. Ini tahap yang sangat penting, karena dengan menyimak anak belajar kosa kata. Otak mereka akan mengimajinasikan cerita yang didengar, area abstrak otaknya akan aktif. Area abstrak adalah tool penting untuk belajar ilmu eksakta. Saat orang tua membacakan cerita, sesungguhnnya orang tua juga tengah mendemonstrasikan ide, dan anak belajar untuk memahami dan menganalisisnya. Ini benih kemampuan High Order Thinking Skill (HOTS) alias kemampuan berpikir tingkat tinggi.
b. Fase 8-12 tahun. Pada fase ini anak umumnya sudah bisa membaca. Apakah itu artinya kegiatan membaca dihentikan? Tidak, justru terus saya lanjutkan karena di sini latihan anak menyimak dan merespon. Mereka akan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan. Ini latihan untuk berpikir kritis.Anak yang terus terpapar pembacaan cerita seperti ini, akan memiliki kemampuan matematika 20% lebih tinggi dibanding anak yang tidak mendapatkannya, demikian menurut riset NCES, US Department of Education)
c. Fase 12+. Umumnya anak sudah masuk SMP, apakah mereka masih perlu dibacakan cerita? Bagi saya pribadi, ya. Menurut pengalaman saya, inilah saatnya menguatkan konsep-konsep abstrak yang dulu belum mampu dicerna anak-anak dengan baik. Anak usia 12+ umumnya sudah memiliki kemampuan bernalar yang baik, ini membuat saya bisa menjelaskan kembali hal-hal yang dulu mungkin belum maksimal mereka pahami, seperti kisah-kisah para nabi. Di fase ini mereka sudah mampu menarik makna atas kisah-kisah itu.
2. Mengungkapkan pikiran
Kemampuan mengungkapkan pikiran adalah ujung dari proses pertama. Jika pada proses membaca atau dibacakan buku mereka belajar mencerna dan menganalisis, pada proses kedua ini mereka belajar menjelaskan hasil analisis. Pengalaman saya, membuat anak memiliki kemampuan mengungkapkan pikiran melalui tulisan ini cukup mudah, asalkan dimulai sejak usia prasekolah. Pada anak-anak saya, itu dimulai dengan belajar mengungkapkan melalui gambar. Kenapa gambar? Sebab, pada usia prasekolah, bahasa tulis mereka adalah gambar. Latihannya sederhana saja. Misal, seusai dibacakan buku, atau menonton film, mereka saya ajak menggambar tokoh yang paling disukai di cerita tersebut. Ini proses awal. Otak mereka akan belajar mengenali apa yang disukai dan mengapa itu disukai. Ini adalah benih kemampuan beropini. Setelah mereka bisa menulis, mereka berlatih menulis nama tokoh. Hingga usia 8-9 tahun, lembar latihan opini mereka masih didominasi gambar, tetapi begitu memasuki usia 10 tahun, mulai didominasi tulisan, dan pada usia 12+ mereka akan mulai membangun opini sendiri atas sesuatu. High Order Thinking Skill mereka terbangun. Dalam hal ini, kegiatan menulis kreatif saya jadikan metode membangun kemampuan analisis.
Menulis Kreatif
Putri kedua saya mulai membuat cerita sepanjang 23 halaman pada usia sembilan tahun. Ceritanya runtut, diksinya bagus. Putri ketiga saya yang tahun ini berusia tujuh tahun sudah belajar membuat ulasan komik yang disukainya, Miiko. Semua teori belajar yang saya susun sendiri, saya lihat berhasil diterapkan pada putri-putri saya. Ini membuat saya ingin membagi pengalaman ini pada banyak orang tua. Mulailah saya membentuk kelas menulis dan mengajar anak-anak usia SD di beberapa perpustakaan publik, komunitas, sekolah, secara offline dan online. Itu tidak mudah ternyata, karena tidak semua murid-murid baru saya itu melewati proses seperti yang dilalui putri-putri saya sejak kecil. Akhirnya saya merumuskan sebuah teori belajar menulis kreatif yang memadukan kegiatan membaca, seni visual dan menulis, hasilnya ternyata luar biasa seperti yang terlihat pada gambar-gambar di bawah.
Sebelum saya mengakhiri tulisan panjang ini, saya ingin menyampaikan satu hal, tidak pernah ada kata terlambat untuk membuat anak suka membaca dan pandai menulis. Saya punya murid-murid yang susah sekali diajak membaca oleh ibunya, tapi, begitu masuk kelas saya beberapa kali, ia jadi keranjingan membaca, bahkan membaca novel setebal 200 halaman. Saya juga punya murid usia SMP yang kemampuan menulisnya minim, kurang terstruktur, tapi begitu masuk kelas saya, ia bisa menulis cerita yang sangat terstrukttur dan kuat sebab akibatnya, sepanjang 90 halaman. Anak tidak suka membaca dan menulis itu bagi saya bukan persoalan, tapi tantangan yang harus ditaklukkan. Batu yang keras saja lumer oleh air, apalah lagi anak, insan lembut yang dianugerahkan Tuhan ribuan potensi. Yang penting kita sebagai orang dewasa tidak boleh menyerah. Selalu ada cara selama kita terus belajar dan berupaya.**
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga